KOTA Solo dikenal sebagai gudangnya wisata kuliner. Di kota ini, terdapat berbagai macam makanan khas yang tidak dijumpai di kota lain. Ada Nasi Liwet, Selat, dan Cabuk Rambak. Menu khas Solo lain yang sudah sangat terkenal adalah Tengkleng.
Bahan utama makanan ini adalah tulang belulang kambing yang masih terdapat sisa-sisa daging. Sekilas makanan ini hampir sama dengan gulai kambing. Namun, tengkleng memiliki perbedaan mendasar dengan gulai karena tidak dimasak dengan santan. Untuk itu, tengkleng banyak diminati karena memiliki kadar kolesterol lebih rendah dibanding sate dan gulai kambing.
Sekilas, makanan ini memang hanya terdiri dari tulang belulang kambing. Namun, jika sudah merasakannya, dijamin ketagihan. Sebab, ada kenikmatan tersendiri saat harus mencari daging kambing yang masih tersisa di tulangtulang tersebut. Di situlah letak kenikmatan dari tengkleng Solo. Saat ini, banyak dijumpai warung- warung di Kota Solo menyajikan menu makanan ini. Maklum, makanan khas ini memiliki penggemar sangat banyak. Selain sate dan gulai kambing, biasanya warung pasti menyediakan menu tengkleng.
Nah, dari sekian banyak warung di Solo, salah satu warung tengkleng yang sudah sangat terkenal di Kota Solo adalah ”Warung Tengkleng Bu Edi”. Warung ini berada di kawasan Pasar Klewer. Tepatnya, warung ini berada di bawah Gapura Pasar Klewer di sisi utara.
Warung ini hanya biasa saja dan jauh dari kesan mewah. Tempatnya kecil dan hanya menyediakan dua bangku dan kursi kayu panjang. Sedangkan sang penjual Ediyem, 59, biasanya ditemani oleh anaknya Sulistri, 31. Meski hanya warung kecil, jangan ditanya soal penggemarnya.
Warung ini pun tidak buka sejak pagi hari hingga malam seperti kebanyakan warung lain. Biasanya, begitu dibuka pembeli langsung antre. Bahkan, sering kali terjadi pembeli sudah antre meski warung belum buka. Akibatnya, pembeli yang datang belakangan sering harus kecele karena sudah habis.
Maklum, Bu Edi-begitu Ediyem akrab disapa-hanya hanya khusus menjual tengkleng. Warung Tengkleng Bu Edi biasanya mulai buka pukul 14.00 WIB. Menariknya, hanya sekitar dua jam dibuka, tengkleng Bu Edi sudah ludes terjual. Warung tersebut mulai buka pukul 14.00 WIB dan langsung tutup begitu sudah habis. Saat bulan puasa, warung tersebut juga tak luput dari serbuan pembeli. Biasanya, pembeli minta dibungkus untuk dijadikan menu berbuka puasa.
Namun, pembeli yang makan ditempat banyak juga karena tidak semua warga menjalankan ibadah puasa. Untuk menikmati tengkleng, memang ada seni tersendiri. Pasalnya, penikmat masakan ini harus memilih bagian tulang yang masih ada dagingnya. Dan untuk bisa mendapatkan sumsum yang sangat nikmat, mereka harus mengisapnya langsung dari tulang hingga keluarlah sumsum tulang yang rasanya sangat lezat.
”Mulai membuka usaha warung Tengkleng sejak tahun 1971 hingga sekarang,” jelas ibu lima anak tersebut.
Dia menuturkan, sejak merintis usaha tersebut, setiap hari dirinya dibantu anaknya membawa barang dagangan dari rumahnya di Kampung Yosodipuran RT 01/03 Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Solo. Barang dagangan yang terdiri dari beberapa panci besar diangkut dengan menggunakan becak. Saat ini, satu porsi tengkleng beserta nasi dijual dengan harga Rp15.000.
Menariknya, nasi tengkleng tersebut tidak disajikan dengan piring ataupun mangkok.
Di warung Bu Edi, pembeli dilayani dengan menggunakan ”pincuk” atau tempat yang dibuat dari daun pisang. Sendok yang digunakan juga sendok plastik. Meski disajikan dengan sederhana, tetap saja tidak mengurangi rasa tengkleng khas Bu Edi yang sudah terkenal selama ini. Bahkan, banyak yang bilang rasa tengkleng Bu Edi tak kalah dengan tengkleng dari rumah makan terkenal di Kota Solo.
Menurut Bu Edi, selama ini biasanya dalam satu hari dirinya menghabiskan sebanyak enam ekor kambing. Untuk masak tulang kambing tersebut, dibutuhkan waktu sekitar dua jam. Hanya saja, dirinya harus membersihkan daging dan memilih serta memisahkan daging kambing dengan tulangnya. Dia memaparkan, tulang yang masih ada tersisa dagingnya dipisahkan dari daging dan juga jeroan, seperti babat, usus dan juga lidah kambing. Hal itu harus dilakukan karena tidak semua pembeli menyukai semua bagian kambing.
Salah satu anaknya, Sulistri yang selalu menemani berjualan menambahkan, harga satu porsi dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Saat ini, satu porsi tengkleng beserta nasi seharga Rp15.000. Meski begitu, biasanya warga yang datang membeli Tengkleng tidak terikat dengan porsi.
”Ada yang beli Rp10.000 atau Rp30.000 untuk dibawa pulang,” ujarnya. Disinggung tentang rasa yang spesial, Bu Edi maupun Sulistri hanya tersenyum.
Menurut Bud Edi, tidak ada resep khusus untuk Tengkleng buatannya. Bahkan, dia menuturkan resep maupun bahan tengkleng yang dia buat sama dengan masakan tengkleng warung lainnya.
Kalau soal terkenal, lanjutnya, mungkin karena saya yang pertama berjualan di sekitar Klewer ini. Kalau bicara rasa, menurutnya semua itu penilaian dari masyarakat. Yang jelas, tengkleng buatannya sama dengan yang lain. Terdiri dari cacahan kepala kambing, jeroan, dan kaki kambing yang dimasak selama dua jam.
Bu Edi menambahkan, dirinya mulai berjualan tengkleng tahun 1971. Saat itu, dirinya berusia 19 tahun dan meneruskan profesi sang ibu. Sehingga, bisa dikatakan usaha menjual tengkleng adalah usaha turun temurun. Pasalnya, neneknya juga menggeluti profesi yang sama berjualan tengkleng. Ditanya kenapa masih bertahan di lokasi yang kecil dan sederhana itu? Bu Edi mengaku baginya tidak masalah berjualan di lokasi yang kecil. Jika dia harus pindah ke lokasi mewah justru akan ditinggalkan oleh pembeli.
Selama ini, warungnya sudah dikenal sebagai warung tengleng gapura Pasar Klewer.
”Tetap disini tidak masalah asalkan tetap diserbu pembeli,” ujarnya. Dia menambahkan, saat ini putri keduanya juga meneruskan berjualan tengkleng di kawasan Pasar Olah-oleh Jongke.
Harapannya, karena sudah menjadi usaha turun temurun, suatu saat ini ada anaknya yang meneruskan berjualan di lokasi gapura Pasar Klewer yang selama ini menjadi ciri khasnya.
Sumber :
(Koran SI/Koran SI/tty)
Sumber : http://www.okefood.com/read/2010/09/21/299/374387/299/tengkleng-solo-bikin-ketagihan